Header Ads

Matahari Tenggelam dalam Lautan Lumpur Hitam

Matahari Tenggelam dalam Lautan Lumpur Hitam


Dalam sebuah ayat dalam Alquran, tepatnya dalam surat Al-Kahfi ayat 86, terdapat kisah petualangan Zulqarnain dimana beliau pergi ke tempat dimana matahari tenggelam, lalu beliau melihat matahari tenggelam dalam lumpur yang hitam.

Dalam sebuah ayat dalam Alquran, tepatnya dalam surat Al-Kahfi ayat 86, terdapat kisah petualangan Zulqarnain dimana beliau pergi ke tempat dimana matahari tenggelam, lalu beliau melihat matahari tenggelam dalam lumpur yang hitam. Ayat tersebut berbunyi:

حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَّوَجَدَ عِنْدَهَا قَوْمًا 

Artinya: Hingga ketika dia telah sampai di tempat matahari terbenam, dia melihatnya (matahari) terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan di sana ditemukannya suatu kaum (tidak beragama).”

Ayat ini tentu sulit diterima dengan logika sains modern, karena ilmu astronomi modern membuktikan bahwa matahari hakikatnya tidak beredar mengelilingi bumi, matahari adalah entitas langit yang jauh lebih besar dari bumi dan tidak mungkin tenggelam ke suatu titik di muka bumi. Lalu bagaimana dengan logika para ahli tafsir yang hidup sebelum era astronomi modern (meski saat itu dunia astronomi Islam sedang berada di puncak kemajuannya). Di sini penulis mengambil penjelasan kitab-kitab tafsir populer dalam rentang abad empat hingga tujuh Hijriah atau bertepatan dengan 10 hingga 13 Masehi.

Berikut ulasannya:

  • Abad keempat Hijriah

Diantara tokoh tafsir yang amat populer pada abad keempat Hijriah adalah Ibn Jarir At-Thabari, kitab tafsir beliau adalah kitab tafsir Ma’tsur (berbasis riwayat dan nukilan) yang paling otoritatif hingga sekarang. Jika hendak melihat wawasan Tafsir dari generasi sahabat dan tabi’in maka Tafsir Thabari adalah rujukan paling direkomendasikan.

At-Thabari menjelaskan bahwa penafsiran terhadap ayat sangat ditentukan oleh perbedaan qiraat dalam membaca kata حَمِئَةٍ , kata ini memiliki dua cara bacaan yang berbeda yaitu حَمِئَةٍ (bacaan ahli qiraat Madinah dan Bashrah) dan حامية (bacaan penduduk Kufah).

Berdasarkan cara bacaan pertama, maka ia diartikan bahwa matahari tenggelam dalam lautan berlumpur, atau lebih jelasnya lagi lumpur yang berwarna hitam. Pendapat ini berdasarkan keterangan At-Thabari merupakan pendapat dari Ibn ‘Abbas, Ka’ab Al-Ahbar, Mujahid dan Qatadah.

Adapun berdasarkan cara bacaan yang yang kedua, maka ayat ini bermakna bahwa matahari tenggelam dalam lautan yang panas. keterangan ini didasarkan pada pendapat Ibn Abbas (dalam sebagian jalur periwayatan) dan Al-Hasan.

At-Thabari sendiri dalam masalah ini tidak memperkuat salah satu pendapat. Menurut beliau kedua pendapat sama-sama memiliki kemungkinan benar karena berdasarkan pada cara bacaan yang sahih.

  • Abad kelima Hijriah

Di antara Ulama tafsir yang paling populer pada abad ini adalah Al-Imam Al-Mawardi. Beliau adalah ulama besar Mazhab Syafi’i sekaligus menulis satu kitab Tafsir yang masih cukup populer hingga sekarang.

Sama halnya seperti At-Thabari, Al-Mawardi membuat pemetaan pendapat dalam menafsirkan ayat ini sesuai dengan perbedaan qiraat yang terjadi. Hanya saja menurut klasifikasi  Al-Mawardi, terdapat empat pendapat dalam masalah ini yaitu:

  1. Matahari tenggelam dalam mata air berlumpur, ini merupakan pendapat Qatadah dan Mujahid.
  2. Matahari tenggelam dalam tanah lumpur yang berwarna hitam, ini merupakan pendapat Ka’ab Al-Ahbar.
  3. Matahari tenggelam dalam lautan yang panas.
  4. Matahari bukan tenggelam dalam laut, melainkan di balik laut, hanya saja terlihat seolah seperti tenggelam di dalam lautan.

Pendapat terakhir yang disebutkan Al-Mawardi tidak beliau sandarkan pada pendapat ulama sebelumnya, jadi ada kemungkinan bahwa ini merupakan pendapat beliau sendiri.

  • Abad keenam Hijriah

Tokoh ulama tafsir yang cukup dikenal yang muncul pada abad ini adalah Ibnul Jauzi dengan tafsirnya Zadul Masir. Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnul Jauzi masih membahas seputar dua perbedaan qiraat yang kemudian menghasilkan dua pendapat yang berbeda yaitu: matahari tenggelam dalam lautan berlumpur dan matahari tenggelam lautan yang panas. 

Satu hal yang menarik dari penjelasan Ibnul Jauzi adalah beliau merincikan salah satu perkataan Al-Hasan yang menjelaskan bahwa matahari tenggelam dalam lautan yang panas hingga airnya mendidih seperti air yang dimasak dalam periuk.

  • Abad ketujuh Hijriah

Jika berbicara mufassir abad ketujuh, maka Fakhruddin Ar-Razi dengan tafsir beliau Mafatihul Ghaib adalah rujukan yang paling melegenda. Ar-Razi dikenal sebagai mufassir yang sering membahas sebuah ayat secara luas, mengupas berbagai sisi yang mungkin diterangkan, meskipun telah keluar dari tema pokok ayat sekalipun.

Penyesuaian penafsiran ayat ini dengan fakta-fakta kosmologi mulai cukup terlihat pada masa Ar-Razi, ditambah dengan kecenderungan beliau yang menggunakan logika dengan porsi yang lebih luas. Ar-Razi tidak mengikat diri pada penafsiran tokoh-tokoh sebelum era beliau, apalagi pada sesuatu yang telah terbukti bertentangan dengan penemuan berikutnya.

Ar-Razi memulai panafsiran ayat ini dengan mengumpulkan berbagai fakta astronomi yang mesti disesuaikan dengan penafsiran ayat yaitu bumi berbentuk bulat, Matahari adalah entitas langit yang jauh lebih besar dari bumi dan berada di langit, jadi keberadaan satu kaum yang hidup di tempat matahari tenggelam adalah sesuatu yang tidak masuk akal.

Ar-Razi menegaskan bahwa matahari memiliki ukuran yang jauh lebih besar dari bumi, jadi tidak mungkin ia tenggelam ke dalam salah satu lautan yang ada di muka bumi. Oleh karena itu, Ar-razi menawarkan beberapa alternatif pemahaman untuk masalah ini yaitu:

  1. Saat itu Zulqarnain sampai di tempat dimana tidak ada lagi bangunan di depannya, boleh jadi seperti jurang atau ngarai yang dalam dan gelap, dari sana kemudian ia melihat matahari seperti tenggelam di ujung jurang atau ngarai tersebut. Kondisi lainnya boleh jadi ia sampai di tepi laut dan melihat seolah matahari tenggelam di ujung horizon ke dasar laut, padahal hakikatnya matahari berada jauh dari sana. Takwil semacam ini menurut Ar-Razi disebutkan oleh Ali Al-Jubba’i (salah satu tokoh Muktazilah) dalam kitab tafsirnya.
  2. Di belahan barat bumi boleh jadi terdapat daratan yang dikelilingi oleh laut, jadi ketika melihat ke arah matahari seolah ia terbenam ke dalam. Boleh jadi laut ini memiliki keadaan yang agak berbeda dari laut biasa seperti suhu air yang panas atau warna permukaan air yang menghitam. Namun laut semacam ini tentu tidak pernah ditemukan hingga sekarang.
  3. Memahami ayat ini secara tekstual. Matahari memang tenggelam dalam lautan. Namun Ar-Razi sama sekali tidak setuju dengan pendapat ini. Ar-Razi menuliskan bahwa peredaran matahari berlangsung secara terus menerus dan relative di berbagai tempat. Ketika matahari sedang terbenam di suatu tempat, maka di belahan bumi yang lain ia justru sedang terbit, atau sedang berada di tengah langit. Jadi pada hakikatnya matahari tidak pernah terbenam secara mutlak. Jadi Ar-Razi bersikeras bahwa pemahaman tekstual terhadap ayat ini adalah hal yang tidak masuk akal dan tidak layak diberikan pada firman Allah SWT.

Ar-Razi terlihat jelas mendobrak tradisi penafsiran pada masanya. Meskipun di masa sekarang penjelasan Ar-Razi akan sangat mudah diterima, karena lebih sesuai dengan fakta yang ditunjukkan oleh ilmu astronomis, tetapi pada masa Ar-Razi pembuktian tentang bentuk bumi bulat, perbandingan ukuran matahari dan bumi belum menjadi kepercayaan umat Islam secara umum. Sehingga apa yang dilakukan Ar-Razi akan dianggap sebagai upaya mendahulukan logika dibandingkan petunjuk teks, satu metode yang dinilai bermasalah dan menjadi lahan kritik banyak ulama.

Abu Hayyan Al-Andalusi, salah seorang mufassir yang hidup satu abad setelah beliau misalnya mengkritik pendapat yang mencoba menakwil ayat ini dari makna zahirnya. Abu hayyan berdalil bahwa pemahaman zahir ayat ini juga didukung oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW pernah berkata padanya:

هَلْ تَدْرِي أَيْنَ تَغْرُبُ هَذِهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَامِيَةٍ

Artinya: “Tahukah dimanakah matahari ini tenggelam?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya matahari tenggelam di laut yang berlumpur hitam.” (HR Abu Dawud, No. 4002).

Sebenarnya fakta-fakta astronomis yang begitu kontras bertentangan dengan makna zhahir ayat ini sudah ditemukan oleh umat manusia jauh-jauh hari. Pengetahuan seputar bentuk bumi yang bulat, matahari yang berada jauh di luar bumi dengan ukuran yang ribuan kali lebih besar, gerak rotasi bumi dan putaran bumi mengelilingi matahari dan lain-lain sudah ditemukan sejak era Yunani kuno. Ratusan tahun sebelum Alquran diturunkan.

Dalam internal peradaban Islam sendiri, ilmu astronomi sudah berkembang pesat sejak abad kedua Hijriah (ini terjadi bahkan sebelum era At-Thabari). Jauh Sebelum era Ar-Razi, dunia Islam telah melahirkan banyak ilmuwan astronomi kenamaan seperti Al-Battani dan Al-farghani. 

Sayangnya fakta astronomis kala itu hanya diterima di kalangan ilmuwan dan kaum rasionalis. Sebaliknya kebanyakan kalangan agamawan, pegiat tafsir Alquran dan hadis lebih menerima pengamatan empiris dan makna tekstual ayat. Pendapat-pendapat para ilmuwan astronomis saat itu justru dinilai sebagai pembangkangan terhadap petunjuk dalil-dalil agama.

Buka juga :

Post a Comment

0 Comments