Tanpa Jihad, Indonesia Tiada |
Tanpa Jihad, Indonesia Tiada
Tanggal 17 Agustus tahun 2013 menandai 68 tahun Indonesis diproklamirkan sebagai bangsa yang merdeka. Sayangnya, walau sudah puluhan tahun merdeka, masih banyak anak bangsa yang meyakini Indonesia masih dalam penajajahan bangsa Asing.
Membicarakan kemeredekaan NKRI, akan terasa tabu tanpa menyertakan pembicaraan tentang perjuangan muslimin Indonesia mengusir penjajah. Karena, sejarah tidak pernah lupa, bahwa para penegak panji perjuangan dan perlawanan terhadap penjajah tidak bisa lepas dari jasa dan pengorbanan umat Islam.
Bahkan, hampir bisa dipastikan, hanya Islam yang berperan aktif dalam mengusir penjajah. Sementara penganut agama lain, bisa dipastikan tidak memiliki kiprah apa-apa. Apalagi penganut Kristen yang pada masa proklamasi merasa kecewa dengan dicantumnya piagam Jakarta, mereka tidak memiliki andil sedikitpun mengusir penjajah Belanda maupun portugis.
Walau pada zaman jepang ada beberapa tokoh Kristen yang melawan Jepang, itu tidak lebih reaksi mereka yang dahulu mendapat hak istimewa dari Belanda kemudian dihapus oleh Jepang. Pasalnya Jepang meyakini orang-orang Kristen adalah kacung Belanda, karena selama ini mereka menjadi kaki tangan Belanda. Sehingga pada masa kependudukan Jepang, Kristen dianggap ancaman oleh Jepang.
Jihad Jalan Juang Pahlawan
Catatan sejarah pasti menulis bahwa panji yang dikibarkan untuk mengusir para penjajah adalah satu, tidak ada yang lain, yaitu panji jihad fi sabilillah. Pengusiran penjajah dan panji jihad fi sabilillah adalah dua hal yang tidak dipisahkan dalam perjuangan nenek moyan bangsa Indonesia. Jika berbicara pengusiran penjajah, wajib menyertakan cerita jihad, jika tidak, akan terasa hambar dan seperti mendongeng kisah yang tidak jelas rimbanya.
Jika berbicara jihad, maka contoh jihad fi sabilillah yang paling nyata dalam sejarah Indonesia adalah perjuangan mengusir penjajah, baik portugis, belanda, jepang, maupun pasukan sekutu.
Adalah sejarawan Belanda, Pieter J.F. Louw, dengan jujur mengaku bahwa perlawanan rakyat muslim Indonesia terhadap eksistensi Belanda adalah jihad yang diyakini sebagai jalan kemuliaan dan mengantarkan mereka ke jalan yang diridhoi tuhannya.
Terutama jihad Diponegoro di Jawa. Perangnya bukan karena masalah ekonomi, balas dendam kerajaan atau semangat kesukuan. Namun berangkat dari kesadaran pengorbanan agama. Adapun faktor ekonomi dan sejenisnya hanya pemantik tambahan, bukan asas perjuangan hakiki para pahlawan.
Dalam bukunya, “De Java Oorlog Van 1825-1830”, seperti dikutip Heru Basuki, Pieter menulis, “Tujuan utama dari ‘pemberontakan’ tetap tidak berubah: pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama dari noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.”
Jihad Putra-Putra Nusantara
Mantan menteri agama RI lima periode, sekaligus sejarawan Islam KH Saifuddin Zuhri menulis dalam bukunya, “Sejarah Kebangkitan Islam” (hlm.349) menuturkan, “Sultan Demak dan para wali merasa terpanggil untuk berjihad; halus dihadapi dengan halus dan keras dihadapi dengan keras. Kalau orang-orang Portugis mengobarkan semangat perang salib, maka kesultanan Demak dan para wali mengobarkan semangat jihad, perang sabil. Kalau ‘salib’ menjadi slogan kaum sana (Portugis), maka jihad ‘sabil’ menjadi slogan kaum sini.”
Dalam tulisannya ini, beliau menceritakan sikap muslimin nusantara kala itu menghadapi invasi Portugis yang menyerang kerajaan Islam di Selat Malaka. Kiyai Saifuddin melanjutkan tulisannya,
“Menghadapi Portugis itu, orang-orang demak memandangnya sebagai suatu jihad, untuk melindungi kawan-kawannya (muslim), harta benda, agama (Islam), nyawa, kehormatan dan generasi penerusnya.”
Jihad Di Nusantara Timur
Salah satu catatan sejarah jihad yang panjang dalam kemerdekaan RI adalah jihad di Maluku. Maluku ditemukan oleh para saudagar Arab. Kepulauan yang begitu indah dengan kekayaan alam luar biasa. Lalu mereka menyebut kepulauan ini dengan ‘maluk’ berasal dari kata ‘milkun’ artinya kepemilikan, yaitu kepulauan ini memiliki keindahan alam yang mempesona.
Ada juga yang mengatakan Maluku dari kata ‘mulkun/mamaluk’ artinya kepulauan itu banyak didiami raja-raja Islam yang tersebar di berbagai pelosok Maluku.
Walau diawal kedatangan, Portugis diterima baik oleh Sultan Khairun, sebagai penguasa Kerajaan Ternate. Namun lambat laun, Portugis mulai membuat gusar rakyat ternate. Pasalnya Portugis melanggar perjanjian; perjanjian antara portugis dan sultan Khairun adalah perdagangan murni. Ternyata Portugsi membonceng missionaries Kristen yang dikemudian hari melakukan kristenisasi dengan kasar dan paksa.
Selain itu, Portugis memposisikan kerajaan Islam Ternate seperti budaknya. Portugis memonopoli perdagangan. Perdagangan rempah-rempah rakyat dijarah paksa oleh Portugis. Dengan lalim mereka menghukum rakyat muslim Maluku.
Kondisi yang demikian membuat Sultan Khairun menyerukan jihad melawan penjajah Katolik Portugis. Pertempuranpun tidak dapat dielakkan, semua orang Kristen baik Portugis atau pribumi diusir dari kesultanan Ternate, karena telah mengkhianati perjanjian.
Portugis menawarkan perdamaian. Sebuah senjata untuk melumpuhkan jihad. Perjanjian damai diterima oleh Sultan Khairun, dengan syarat, seluruh orang Kristen harus keluar dari ternate, sekaligus tidak ada lagi kegiatan Kristenisasi di Ternate.
Saat resepsi peresmian perjanjian ini yang diadakan di rumah kediaman Gubernur de Mesquita, seorang opsir Portugis menikam Sultan Khairun dari belakang yang menyebabkan beliau gugur, berikut beberapa pengawal yang beliau bawa, hanya sedikit yang mampu melarikan diri.
Jihad kemudian dilanjutkan oleh putranya yaitu Sultan Babullah. Beliau mengambil bai’at(sumpah setia) dari umat Islam Ternate, untuk berjihad. “Seluruh rakyat yang hadir dalam pelantikan Sultan ini, menyatakan kesetiaannya (bai’ah) dengan penuh ruhul jihad dan mati syahid.” Tulis sejarawan Islam, Abdul Qadir, mantan anggota DPR RI dalam ‘Perang Sabil Versus Perang Salib’ (hlm. 3).
Jihad di Makassar
Di Makassar muncul seorang pejuang Islam yang menyatukan Sultan-Sultan Makasar dan Bugis dibawah panji-panji Islam, dengan menerapkan syari’at Islam secara penuh. Kesatuan ini menumbuhkan kekuatan maritim yang menyaingi kekuatan Belanda. Dialah Pangeran Hasanuddin.
Kekuatan Maritim Hasanuddin membuat Belanda menyulut peperangan dengan Sultan Hasanuddin. Pada tahun 1663 Belanda mengepung pelabuhan Makassar dengan jalan memblokade dan sabotase.
Namun usahanya sia-sia. Semangat jihad dan cinta mati syahid yang sudah mendarah daging dalam sultan muda serta muslimin Makassar membuat mereka mampu mendobrak blokade ini.
Tahun 1654 Belanda kembali mengirim pasukan tempurnya. Namun, kembali penjajah Kristen ini menggigit jari. Pasukannya diporak-porandakan oleh mujahidin Makassar yang dipimpin oleh Ayam Jago dari Timur ini, gelar sultan Hasanuddin.
Sampai akhirnya Belanda bekerja sama dengan raja yang munafik, yaitu Aru Palaka, raja Bone-bone Sulawesi. Belanda menyerang Hasanuddin dari laut dan Aru Palaka yang telah dipersenjatai oleh Belanda menyerang dari darat. Terjadilah perang terbuka yang tidak berimbang.
Sehingga Hasanuddin harus menerima perdamaian bersyarat dari Belanda. Kelak, pasukan Aru Palaka didatangkan oleh Belanda untuk menyerang para mujahidin di pulau jawa.
Kekalahan umat Islam di Makasar ini mengakibatkan sebagian panglimanya memilih hijrah dan bergabung dengan pejuang Islam di Jawa. Misalnya, Kraeng Galesung bergabung dengan Trunojoyo di Jawa Timur, ulama sekaligus panglima Syaikh Yusuf bergabung dengan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, untuk melawan Belanda. Syaikh Yusuf diambil menantu sekaligus diangkat sebagai mufti oleh Sultan Ageng.
Jihad di Banten
Setelah kemenangan di Makassar, Belanda semakin berhasrat untuk menaklukkan Banten yang dipimpin oleh seorang sultan Shaleh, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda yang dibantu oleh Sultan Haji, putra Sultan Ageng yang berkhianat diserang oleh pasukan Islam dibawah pimpinan Sultan Ageng.
Sultan Ageng pun melawan dengan mengobarkan semangat fi sabilillah. Loyalitas anaknya, Sultan Haji, ke Belanda membuat Sultan Ageng menempatkan putranya ini sebagai musuh. Ia pun menyerang markas anaknya sehingga pengkhianat itu menderita kekalahan.
Walau pada akhirnya Belanda memadamkan api jihad di Banten. Yaitu dengan penangkapan para panglimanya, seperti Syekh Yusuf, namun mujahidin Banten telah mengukir sejarah penting yaitu, jihad adalah tradisi muslimin Indonesia.
Jihad di Banjar
Semangat jihad dan penegakkan syari’at Islam juga dapat dilihat pada perang Banjar di Kalimantan. Pada tahun 1859, umat Islam Banjar yang dipimpin oleh seorang santri militant, Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat.
Pada pertama kalinya, Pangeran Hidayat masih ragu untuk ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda. Menurut beliau, itu adalah sebuah pemberontakan, menumpahkan darah rakyat sia-sia. Namun setelah dijelaskan oleh Pangeran Antasari bahwa itu adalah jihad demi membebaskan rakyat Banjar dari penjajah kafir, akhirnya Pangeran Hidayat terbuka hatinya.
“Adapun pertumpahan darah yang kau khawatirkan itu sebenarnya belum terjadi. Agama kita membenarkan peperangan ini sebagai perang Sabil. Dan kematian yang menjadi resiko perjuangan ini adalah tidak sia-sia, ini mati syahid. Kita hidup untuk Allah dan mati untuk Allah.” Tegas Sultan Antasari meyakinkan Pangeran Hidayat.
Tahun 1862 secara resmi Pangeran Antasari diangkat sebagai, ‘Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Dan menjadikan ‘Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah’ sebagai motto kerajaannya.
Jihad Kaum Padri
Jihad di Sumatera Barat disebut jihad Paderi karena para pemimpin perjuangan ini adalah para ulama. Sebenarnya mereka lebih senang disebut muwahhidin (orang-orang yang bertauhid).
Haji Miskin dan Haji Abdurrahman yang memimpin jihad di Sumatera Barat ini disinyalir sebagai alumni pasukan inkisari (Yenesari) Turki. Yaitu sebuah pasukan khusus pemerintahan Turki Utsmaniyah.
Jihad ini dimulai dengan dakwah tauhid dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan serta mahkamah syar’ie. Dari dakwah ini kelak muncul seorang santri militant dan pemberani yang susah dicari tandingannya. Dialah Tuanku Imam Bonjol.
Tuanku Imam Bonjol selalu digambarkan bersurban dengan jenggot khas ulama militant. Gerakan kaum muwahhidin terutama pada masa mujahid agung Tuanku Imam Bonjol tergolong modern. Telik sandi yang dimainkan oleh Imam Bonjol terkenal sangat rahasia dan militant. Inilah salah satu keberhasilan gerakan muwahhidin.
Ideologi tauhid, jihad dan cinta mati syahid, membuat penjajah kesulitan meredam gerakan jihad para muwahhidin.* (Akrom Syahid)
Buka juga :
0 Comments